WHAT'S NEW?
Loading...

Membaca Al-Qur'an, Mengeja Zaman



Saat menerima paket buku (gratis lho) bertajuk Dialektika Langit dan Bumi: Mengkaji Historisitas al-Qur’an Melalui Studi Ayat-Ayat Makki-Madani dan Asbâb al-Nuzul dari sang penulis, Dr. Abad Badruzaman, ingatan saya melompat ke sekitar tahun 1990-an saat saya bergelut cukup intens dengan suatu kelompok pergerakan Islam yang menawarkan model pengamalan Alquran dengan menggunakan periodesasi Alquran, yakni periode Makkah dan Madinah. Kelompok tersebut mengatakan bahwa saat ini umat manusia berada dalam periode Makkah, sehingga pengamalan Alquran yang dituntut untuk periode ini adalah pendalaman akidah tauhid. Karenanya, di sini orang tidak perlu melakukan salat fardu lima kali dalam sehari. Kalaupun orang mau salat, cukuplah ia mendirikan salat malam sebagai sang Nabi melakukannnya. Sementara, pada periode Madinah, orang dituntut untuk menegakkan hukum-hukum sosial kemasyarakatan termasuk hukum-hukum jihad.

Tentu saja, melalui proses sejarah yang cukup panjang pemahaman seperti di atas tak bisa dipertahankan. Banyak kelemahan premis di situ. Di antaranya, siapa yang punya otoritas untuk menetapkan bahwa saat ini masuk periode Makkah karena itu kewajiban manusia adalah seperti ini? Dan seterusnya.

*****

Buku Dialektika Langit dan Bumi  (DLB) ini tak pelak lagi tidak menawarkan hal itu. Terdiri dari enam bab, buku yang ditulis dengan model kampusan (heheh) tersebut (tapi tetap asyik dibaca karena pilihan diksi dan argumentasi yang dibangunnya) menyajikan gagasan tentang pentingnya memahami Alquran dengan melihat aspek historis pewahyuan Alquran plus asbab al-nuzul-nya. Karena dengan memerhatikan hal semacam ini pembaca akan terbantu dalam “… menafsirkan Alquran, …mengetahui sejarah pembentukan dan perkembangan hokum Islam secara umum, … membantu merasakan keindahan Bahasa Alquran … dst. (hal.38).

Hemat saya, ide pokok buku DLB adalah bahwa bagaimana pewahyuan Alquran itu seringkali merupakan respons atas situasi yang menimpa muslimin pada saat itu. Ada proses dialelektika antara kitab dari langit dengan hati manusia di bumi. Beberapa contoh ayat hokum seperti hokum waris, pengharaman khamar, ayat-ayat jihad ditampilkan di buku ini untuk menunjukkan betapa proses dialektika itu terjadi (Bab Tiga). Seingat saya gagasan yang kurang lebih sama pernah diusung oleh Fazlur Rahman dengan Neomodernisme-nya, yang diteruskan oleh cendekiawan asal Indonesia, Nurcholish Madjid, ataupun Muhammad Baqir al-Shadr, untuk menyebutkan beberapa.

Saya melihat kepiawaian penulis DLB tampak minimal dalam dua hal (punten Bah): pertama, keprigelan dalam “menjahit” gagasan-gagasan dari seabreg referensi (Bahasa Arab lagi) dan kedua, kecakapan dalam merefleksikan dan mengkontekstualisasikan ayat-ayat yang turun di Makkah dan di Madinah serta Asbab al-Nuzul seperti yang ada pada sekujur Bab Empat dan Bab Lima. Dalam kasus surah al-Fatihah, penulis memberikan sentuhan sufistik atas ayat-ayat dalam surah tersebut. Hingga makna-makna yang terkandung dalam surah tersebut mampu membasahi relung jiwa. Menutupi perenungan atas surah al-Fatihah, penulis mengatakan, “setiap hamba harus mengamalkan nilai-nilai al-Fatihah dalam kesehariannya, tanpa memedulikan apakah surah al-Fatihah ini makkiyah atau madaniyah. Sebab, nilai-nilai dikandungnya sangatlah universal, berlaku bagi siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.

Secara keseluruhan, buku ini penting untuk dikaji khususnya oleh para mahasiswa Ulumul Quran. Bagaimanapun, dengan melihat bab demi bab dari buku ini, masyarakat umum pun dapat menikmati gagasan sang penulis asal Ciamis ini.

*****

Terakhir, ini sifatnya subjektif. Saya suka iseng melihat referensi yang dipakai oleh penulis suatu buku; apakah ia termasuk pemikir berwawasan terbuka, menyukai persatuan, menggemari esoterisme, ataukah tidak. Dan, trala, beberapa kitab yang dikutip oleh Abah berasal dari karya ulama favorit saya. Karena itu, saya nyatakan bahwa DLB adalah buku yang sah untuk saya pelajari… (bercanda Bah)!

0 komentar:

Posting Komentar