WHAT'S NEW?
Loading...

Bagian 1: Rara Tidak Gila




Namaku Rara. Semua teman-teman kampusku memanggilku begitu.  Rara sang preman wanita. Rara si Omes (Otak Mesum). Rara perempuan gila. Rara si pembawa tawa. Jangan buat Rara marah. Rara si anak hilang. Rara anak terbelakang. Rara mahasiswa edan. Dan seterusnya.

Kalian dapat dengan mudah mengenaliku di tengah keramaian. Dengan tubuh mungil kurusku, dan rambutku yang dipotong pendek ala Demi Moore di film Ghost jaman old, juga deretan anting di telinga kanan dan kiriku. Ada 6 lubang tindikan di cuping telinga kiri dan 4 lubang di kanan. Berderet tindikan dan anting berwarna perak. Seperti tali jemuran yang dipenuhi banyak jepitan kata ayahku.

Lalu bisa dipastikan semua celana jeans yang kukenakan pasti sobek-sobek di bagian lutut, paha dan tulang kering. Mostly aku akan mengenakan kombinasi warna hitam-hitam hampir setiap saat. T-shirt hitam dan jeans belel robek berwana biru muda atau hitam. Dan sudahkah kusebutkan kalau aku mengganti warna rambut cepakku itu satu bulan sekali? Kali ini warnanya electric shocking pink, sebelumnya berwarna biru laut yang berkilau lembut dibawah cahaya purnama.

Teman-temanku menggambarkan aku sebagai pribadi yang  full of energy, impulsive, dan meledak-ledak dalam semangat totalitas yang berapi. Sahabatku Losa yang kerap dikenal sebagai pujangga dan penyair berhalauan kiri, bahkan menulis sebait syair khusus untuk personifikasikan kepribadianku.
Namanya Rara tapi tidak membawa duka lara
Namanya Rara dan kegilaannya sangat sederhana
Layaknya bola-bola energi  yang terus berfusi nir suara
Mengumpul dan memendarkan efek gembira dan tawa
Namanya Rara dan ia tidak gila
Hanya dunia dan kegilaannya yang tak bisa memahaminya
Namanya Rara dan kegilaannya sangat sederhana

Wow. What can I say? Aku terharu kelakukanku yang ‘normal’ ini sampai-sampai menginspirasi sohibku untuk membuat syair khusus. Terserah kalau peruntukannya untuk membully, tapi bagiku bullyan dan rundungan adalah pujian yang terselubung. Bentuk satire tertinggi yang diinterprestasikan dalam kata-kata bersayap yang tujuan sebenarnya adalah apresiasi dan pujian, hanya saja yang bersangkutan malu untuk menggunakan kalimat langsung. Atau ingin memamerkan kehebatannya meramu kata-kata.

***

Suatu pagi yang dingin di bulan November, aku sedang bergegas berlari memasuki kelas mata kulah Diplomasi Internasional yang terletak di lantai 5 di kampus tuaku ini, yang sialnya gedungku belum memiliki lift. Dengan berlari tersengal menaiki tangga batu yang sepertinya tiada akhir dan menguji stamina fisik dan kesabaranku, aku berpapasan dengan Pak Asep, petugas kebersihan di lantai 5.

Euleuh.. euleuuuh, Neng Rara mau ke mana meuni  lari-larian kaya dikejer hantu pagi-pagi begini?”

Hadeuuh Pak Asep, jangan berdiri di tengah tangga dong. Saya udah terlambat ikut kuliah Pak Bima nih, Diplomasi lantai 5-3. Sekarang udah jam 7.16 seharusnya jam 7 teng saya sudah duduk di sana, minggiran atuh pak sakedap wae, punten ieu..”

“Busyet Neng, Mas Bima udah hadir di kelas sejak jam 6.50 dan bawa stopwatch. Kan Neng tahu kalau Mas Bima termasuk yang paling ketat soal waktu. Maksimal toleransi hanya 15 menit, lewat batas itu silakan angkat kaki dan tinggalkan sepatu dalam ruang kelas. Ambil kembali sepatunya setelah kelas usai.”

“Iya saya tahu Pak Asep, makanya geseran dikit dong dari tengah tangga supaya saya bisa lewat dan nerusin lari saya ke atas. Hehh.. Hahh… “ Semburku dengan susah payah sembari ngos-ngosan mengatur nafas.

“Neng sekarang teh udah terlambat, percuma mung sia-sia atuh, kumaha eta..  Ayeuna mah nggeus jam 7 lewat 18 noh” ujarnya sembari menyodorkan jam tangan plastik yang melingkari pergelangan tangan kirinya tepat di depan kedua bola mataku yang membulat tak percaya.

“Waduuuh.. jadi gimana dong Pak kalau begini,  mana saya udah absen 2x pula semester ini di kelas Pak Bima.” Seruku dengan nada pasrah dan mendadak lemas.. Kriuk.. kriukk..

“Gampang Neng, semua bisa diatur kalo buat Neng Rara mah… Pan Mang Asep yang tugas ngejaga semua lantai 5, termasuk daftar absensi kehadiran mahasiswa dan dosen di lantai 5 ini.. Hehehe, yang penting Neng tahu kan kesukaan Mang Asep apaan?”

“Iya Mang, saya turun ke kantin dulu ya beliin rokok Sampoerna Kretek 1 bungkus sama Bentoel  biru ya 1 bungkus?” jawabku pasrah dan mendadak mules membayangkan lembaran uang yang tersisa di dalam dompetku pagi ini.

“Sampoerna kretek aja buat Neng Rara mah, Mang Asep rela bantuin, ikhlas ridho. Apalagi kalau ditambah 1 gelas kopi tubruk item ya neng..  Punten, ngarepotkeun..  Mamang belum ngopi nih hari ini, hehee..”  balas Mang Asep dengan bola mata berbinar dan memamerkan giginya yang mulai ompong itu.

“Iya Mang, beres sekalian saya cari nasi kuning atau lontong sayur deh di bawah buat sarapan. Saya laper juga abis lari-larian dari kost tadi. Nanti jam 9 saya ke ruangan Mang Asep ya bawain upetinya dan sekalian tandatangan manual di absensi kehadiran Ruang 5-3 kelas jam 7 pagi ini mang. Punten ya..”

“Siap Neng, Mamang tunggu jam 9 ya. Santai aja Neng, sarapan dulu yang kenyang biar ceunghar  terus hari ini”.

***

Dan aku pun mulai melangkah gontai menyeret sepasang sepatuku yang kotor terkena genangan air dan lumpur dalam perjalanan jihadku demi menghadiri kelas kuliahku pagi ini. Arghh, kenapa alarm hape yang sudah berdering 5x bergantian itu kugeser ke arah Snooze. Dan kenapa aku baru tersadar di angka 6.50 pagi. Untunglah ada Mang Asep yang pro mahasiswa indisiplin namun bergelarkan Agen Perubahan seperti diriku ini. Mungkin akan kutemani ia menyeruput kopi hitam dan bersama membakar tembakau di ruang kerjanya nanti.

Oh Indonesiaku. Oh Revolusi Mental yang selalu didengungkan Presiden RI ke-7. Oh birokrasi dan protokoler yang kaku. Oh lemahnya diriku. Dan maha berkuasalah Pak Asep sang petugas prakarya, pemegang kuasa atas daftar absensi kehadiran semua mahasiswa dan dosen di lantai 5 kampusku ini.

Namaku Rara, dan kegilaanku sederhana. Aku tidak gila. Hanya dunia yang terlalu gila untuk memahami betapa normalnya kegilaanku.

***

0 komentar:

Posting Komentar