Duel yang mempertemukan Juara Liga 1 musim lalu (Bhayangkara) dengan Juara Piala Presiden 2018 (Persija) menjadi laga pembuka putaran Liga I 2018. Keduanya bermain imbang tanpa gol (0-0) di Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan,Jakarta,Jumat (23/3).
Pertandingan yang dibuka Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora ) Imam Nahrawi tersebut merupakan pertandingan pembuka pada perhelatan sepakbola paling bergengsi Indonesia,Liga I 2018.Perang Liga I ini diikuti oleh 18 klub terseleksi.
Sepakbola memang merupakan olahraga paling menjadi idola dimuka bumi ini,banyak alasan untuk ini. Sebagian orang menganalogikan sebuah pertandingan sepakbola dengan aneka fenomena kehidupan manusia di berbagai ranah. Ada yang melihatnya laksana permainan adu taktik di arena politik, ada yang menganalogikan nya dengan pentas perilaku manusia dalam berebut "kemuliaan" entah harta,tahta atau wanita atau bahkan ada yang mengibaratkan laksana sebuah epos klasik kisah mahabarata,yaitu perang baratayudha.
Bila dicermati,ada beberapa sisi yang bisa menjadi alasan untuk mengidentikkan antara sebuah kompetisi bola dengan nilai-nilai dalam kitab klasik Mahabarata tersebut. Semisal apa yang dilakukan oleh para punggawa sebuah klub sepakbola,ada diantara mereka yang menerapkan strategi licik tapi ada pula yang menggunakan strategi picik. Para punggawa klub sepakbola itu layaknya Sang Kresna, sebagai otak intelektual dibelakang Pandawa dan Arya Sengkuni, dalang yang mengatur tiap langkah Kurawa.Ya, memang tidak akan jauh berbeda juga dengan fenomena politik yang sering kita saksikan.
Di laga pertandingan sepakbola, sering kita jumpai wasit sebagai aparat penegak keadilan, yang sering diragukan keadilannya,baik oleh para pemain maupun oleh para punggawa klub bola.Sama halnya instrumen yudikatif sebagai lembaga negara yang sering disangsikan banyak pihak sebagai "pemberi keadilan" sejati.
Di lapangan hijau,ada aturan-aturan yang sering tak dipahami oleh perangkat pertandingan. Mereka lebih mengutamakan kemenangan apapun caranya, dan itu dianggap lebih penting daripada sebuah prestasi dan pencerahan untuk dunia sepakbola secara keseluruhan. Nah ,benar bukan, mirip dengan yang terjadi di lapangan politik, demi diperolehnya kekuasaan banyak yang tidak peduli dengan aturan hukum, undang-undang, lebih lagi etika.
Sama halnya juga dengan peristiwa besar,yaitu Perang Baratayudha. Para pelaku persepakbolaan negeri ini lebih suka memandang sebuah kompetisi lebih sebagai Padang Kurusetra, tempat berlangsungnya perang habis-habisan antara Pandawa dan Kurawa.Berbagai taktik dan strategi, kalo perlu yang licik pun digunakan,demi meraih posisi puncak. Di level terendah, misal saja adegan pemain sepakbola yang jatuh terguling-guling dan mengerang kesakitan,sampai akhirnya menjadi pesakitan, demi diperolehnya sebuah kemenangan.Atau sepakbola gajah, yang merupakan ajang pengaturan skor demi memenangkan sebuah klub.
Cara pandang melihat kompetisi sebagai perang Baratayudha daripada sebagai kawah Candradimuka inilah, yang mungkin menjadi penyebab sepakbola Indonesia tidak pernah menorehkan prestasi gemilang di percaturan kompetisi internasional.Kawah Candradimuka dalam kitab Mahabarata digambarkan sebagai sebuah tempat untuk menggembleng bayi Tutuka (Gatutkaca) putra Bima, agar menjadi satria yang sakti mandraguna dan digdaya. Karena bayi ini kelak juga akan diterjunkan dalam laga akbar Perang Baratayudha.
Andai saja, dan seandainya para pemangku kebijakan di dunia persepakbolaan Indonesia bisa melihat sebuah ajang kompetisi semacam Liga I atau lainnya sebagai Kawah Candradimuka baik untuk para pemain, pelatih,maupun jajaran manajemen klub sepakbola dalam negeri, mungkin masih akan ada harapan yang bisa kita nanti bagi cerahnya masa depan sepakbola nasional.
Lihat saja, bagaimana sampai H-1 Kompetisi Liga I digulirkan,masih ada berbagai masalah yang dihadapi sejumlah klub. Diantaranya ada klub yang belum punya pelatih definitif, klub yang masih belum punya home base definitif bahkan ada sponsor utama kompetisi yang mengundurkan diri pada H-1 kompetisi dimulai. Kompetisi demi kompetisi pun bergulir bak sebuah peperangan yang hanya berhadiah penderitaan. Adu jotos para suporter, atau kerusakan sarana prasarana jika ada hal yang kurang memuaskan satu pihak. Entah sampai kapan, tetap selalu berharap adalah kunci bertahan.
WHAT'S NEW?
Loading...
0 komentar:
Posting Komentar