Yang menarik justru bagaimana
persepsi masyarakat Jawa – juga hampir seluruh kebudayaan nusantara – yang
membangun impresi dan gambaran tentang sosok-sosok yang mencuat namanya dalam
bentuk paling hiperbola sekalipun ketika wujudnya sudah berbentuk kuburan.
Dengan mitos, legenda, atau cerita-cerita berbumbu, makam-makam yang tersebar
banyak hingga di hutan dan perbukitan dipercaya mampu mendatangkan nasib baik
atau bisa mencukupkan hajat yang mendatanginya.
Padahal, beberapa di-antaranya
hanyalah seorang berandalan (bandit) di masa hidupnya, seperti Ki Balak dan Ki
Boncolono namun kemudian menyebarkan budi baik di masyarakat. Hasil jarahan
atau rampokannya – seperti kisah Si Pitung atau Robin Hood – disebarkannya ke
kaum miskin.
Jadilah, sepeninggal mereka,
kuburannya menjadi semacam tempat keramat yang disinggahi penziarah.
Menariknya, kuncen makam Ki Balak menganjurkan penziarah untuk memberi sesajen
berupa candu mentah kalau hendak hajatnya dikabulkan. Konon karena Ki Balak
semasa hidupnya ratusan tahun lalu adalah seorang penikmat candu.
Ada juga kisah lain, tentang Mbah
Jugo, yang sejatinya menurut salah satu versi cerita, hanyalah seorang tabib
Cina yang rajin menyembuhkan penduduk di Gunung Kawi – yang kini terkenal
sebagai gunung pesugihan. Makamnya di desa Jugo menjadi tempat warga keturunan
Tionghoa memohon rezeki dan dilancarkan usahanya.
Penziarah berdatangan tidak hanya
dari nusantara, tapi juga dari Malaysia, Singapura, bahkan dari Taiwan, Hongkon
dan Cina. Di sekitar makamnya berdiri banyak juga kelenteng Cina, berdampingan
dengan masjid dan pesantren.
Anehnya, sosok Mbah Jugo juga
muncul dalam versi Islamnya. Sosok mbah Jugo di-islam-kan sedemikian rupa
sehingga ia kemudian diceritakan sebenarnya adalah seorang alim bernama Kiai
Zakaria. Kiai ini konon adalah perwira dari pasukan Diponegoro yang menyingkir
ke Gunung Kawi. Oleh penduduk sekitarnya, dua versi berbeda dalam satu sosok
makam ini tidak begitu diributkan. Buat mereka, impresi para penziarah adalah
hak masing-masing.
Cerita lainnya tentang makam yang
dikeramatkan berasal dari Sumenep. Ada satu makam yang dipercaya menjadi tempat
jasad Pangeran Jimat atau Cakranegara II beristirahat dan menjadi tempat yang
ramai dikunjungi. Namun arsip kolonial menuliskan bahwa pangeran ini punya
kecenderungan seksual yang berbeda dari umumnya, dia dianggap menyukai sesama jenis.
Pangeran yang tak pernah memiliki
istri dan keturunan ini diceritakan suka memelihara prajurit atau pangeran yang
tampan di istananya. Para penziarah bukan tak tahu mitos itu, mereka tahu ada
versi cerita tentang Pangeran Jimat yang homoseksual. Tapi mereka cukup
memaklumi, bagi penziarah itu, sosok wali memang terkadang punya perilaku yang
tak biasanya.
Menariknya, di tengah semakin
maraknya Islam konservatif yang kadang bernuansa politis ke nusantara, jumlah
penziarah ke makam-makam suci ini konon semakin melonjak jumlahnya. Artinya,
penganut Islam tradisional tidak terpengaruh dengan perkembangan “dakwah” islam
a la kaum kota atau – entah bagaimana mengklasifikasikannya. Di tahun 1988,
makam-makam suci ini diziarahi hanya sekitar 500ribu orang. Namun di tahun
2005, jumlah ini meningkat menjadi tiga setengah juga.
0 komentar:
Posting Komentar