WHAT'S NEW?
Loading...
Tuduhan Serangan Kimia Douma, dan Biasnya Media Barat
Suriah seolah belum boleh beristirahat dari sekian panjangnya perang. Isu serangan senjata kimia di Douma yang begitu masif diberitakan oleh media-media Barat, terutama Amerika Serikat dan para pendukungnya. Berita palsu tentang senjata kimia itu hendak dijadikan sebagai pemicu perang baru yang lebih berbahaya. Beredarnya berbagai foto dan video anak-anak yang terkena serangan senjata kimia di Douma begitu gencar diberitakan berbagai media mainstream Barat.
Dengan melompat pada kesimpulan tentang dugaan serangan senjata kimia di Suriah, kabinet perang Donald Trump dan para pendukungnya dengan gegabah justru mendorong pada konfrontasi militer antara Rusia dan Amerika Serikat.
Presiden Trump mengumumkan pada hari Senin bahwa "semua orang" (yang dimaksud adalah Rusia dan Suriah) "akan membayar harga" untuk terjadinya serangan kimia di Douma, yang merupakan kota di pinggiran Damaskus yang ada di bawah kendali pemberontak Jaysh al Islam.
Trump juga mengatakan bahwa dia meminta Rusia bertanggung jawab atas serangan yang masih belum diverifikasi. Hal ini menandakan eskalasi hubungan antara Rusia dan AS. Media AS tidak lagi memedulikan validitas berita yang mereka tayangkan. Sekalipun hal tersebut akan berpotensi menimbulkan bahaya yang luar biasa. Mereka hanya mengikuti histeria anti Rusia.
Media juga mengabaikan beberapa rincian penting yang mengarah pada dugaan serangan. Rincian yang menimbulkan pertanyaan serius tentang siapa yang bertanggung jawab.
Penentuan Waktu Serangan yang Mencurigakan
Pemerintah Suriah berada dalam posisi yang lebih kuat daripada saat awal perang dan Douma akan segera bebas. Sungguh sangat tidak masuk akal bila pemerintahan Assad meluncurkan serangan senjata kimia di saat seperti ini. Tidak ada keuntungan sedikipun bagi pemerintah Suriah. Ini saja harus menyebabkan beberapa skeptisisme serius, terutama mengingat kronologi peristiwa yang mengarah ke dugaan serangan.
Douma adalah sebuah kota di Ghouta Timur yang berada di bawah kendali Jaysh al Islam , kelompok jihad pemberontak yang didukung Saudi yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah Presiden Assad dan akan mengganti dengan negara Islam.
Jaysh al Islam sendiri merupakan kelompok teroris takfiri yang bertujuan untuk menegakkan Khilafah (Negara) Islam. Pendiri Jaysh al Islam, almarhum Zahran Alloush, telah secara terbuka menyerukan pembersihan etnis minoritas agama di Damaskus.
Jays al Islam juga terlibat pada pembunuhan massal penduduk sipil dan dengan secara terbuka mengarak perempuan sipil dari sekte minoritas Alawiyah. Mereka dikandangkan di jalanan sebagai tameng manusia dalam menghadapi gempuran pasukan pemerintah Presiden Assad yang dibantu Rusia.
Kelompok minoritas ini berada di antara ratusan warga sipil. Mereka disandera oleh kelompok Jays al Islam selama bertahun-tahun di Douma. Media Barat pun memberitakan hal yang tidak masuk akal dengan mengatakan bahwa pemerintah menggunakan senjata kimia dan itu mempertaruhkan keselamatan para sandera. Padahal negosiasi antara pemerintah dan Jays al Islam dilakukan dengan intens.
Putaran terakhir perundingan yang alot antara Jays al Islam dengan pemerintah Suriah bertepatan dengan pertempuran berbulan-bulan untuk mengusir militan takfiri dari Ghouta Timur. Pemerintah Suriah bisa dipastikan segera memenangkan perang dengan para perusuh ini, dan telah berhasil merebut kembali 90 persen wilayah Ghouta Timur.
Baru-baru ini, kelompok Jaysh al Islam ditawari sebuah kesepakatan oleh Rusia untuk menghentikan perlawanan mereka. Sebagai gantinya, para militan yang ingin tinggal di Douma bisa menjadi pasukan keamanan di Douma. Sementara itu, pemerintah Suriah telah mengijinkan kelompok militan lainnya mengungsi ke Suriah Utara.
Skenario ini tidak bisa diterapkan untuk kelompok Jaysh al Islam. Menurut sumber yang terlibat perundingan, hal ini disebabkan Turki dan kelompok militan Al Qaeda yang mendominasi di Idlib tidak bergaul dengan Jays al Islam.
Kehadiran kelompok ini di wilayah Suriah Utara bisa dipastikan akan menyebabkan perang dengan beberapa pihak. Di samping itu, tempat penampungan pemerintah Suriah di Damaskus untuk pengungsi internal membludak. Mereka tidak sanggup lagi menangani tekanan karena harus merawat warga sipil yang telantar secara internal. Pemerintah lebih memilih untuk menjaga warga sipil di Douma daripada mengevakuasi mereka, yang telah menjadi bagian dari negosiasi.
Namun perundingan tersebut gagal setelah Jaysh al Islam menolak kesepakatan itu. Sebagian karena mereka ingin mempertahankan senjata berat mereka. Kebuntuan itu semakin meningkat ketika para teroris takfiri tersebut menembakkan rudalnya ke Damaskus. Termasuk proyektil yang menurut penasihat internal PBB untuk staf di daerah itu, berisi fragmen-fragmen eksplosif yang menyerupai bom curah.
Hal inilah yang memicu pemerintah Suriah untuk melakukan pemboman secara intens terhadap Douma selama akhir pekan, yang merupakan upaya pemerintah untuk memaksa kelompok itu menyerah. Di tengah-tengah serangan itu pihak berwenang di Douma mengklaim bahwa pemerintah menyerang daerah tersebut dengan senjata kimia. Ini telah menjadi pola di kalangan pemberontak Suriah kapan saja mereka telah dikalahkan. Klaim serangan kimia muncul kembali.
Klaim semacam ini tentu dimaksudkan untuk memancing intervensi dari komunitas nasional. Karena intervensi adalah satu-satunya cara bagi mereka untuk menyelamatkan diri. Mereka memang telah sering memancing aksi keras dari pemerintah Assad untuk mencari jalan agar bisa membuat konsesi.
Fakta penting lainnya yang telah ditinggalkan dari liputan media Barat atas dugaan serangan ini adalah bahwa tentara Suriah menemukan fasilitas senjata kimia yang berada di bawah kendali pemberontak di daerah Ghouta Timur yang baru-baru ini direbut kembali oleh pemerintah. Ini berarti bahwa para pemberontak mampu memroduksi senjata kimia dan, oleh karena itu, tidak boleh dikesampingkan sebagai pelaku potensial, jika serangan senjata kimia diverifikasi.
Pemerintah Rusia juga memperingatkan dalam beberapa tahun terakhir bahwa para teroris takfiri ini berencana melancarkan serangan senjata kimia untuk mengundang intervensi dari luar.
Sebagian artikel ini adalah terjemahan dari tulisan Rania Khalek seorang jurnalis Amerika , penulis dan komentator politik Timur Tengah.
0 komentar:
Posting Komentar