![]() |
Tehran 2009, sebelum ada pengumuman resmi KPU, capres Mir Hossein Mousavi mengklaim kemenangan. Para pendukungnya sontak kegirangan, mereka merayakannya dengan memenuhi jalanan.
Selang beberapa waktu kemudian, hasil resmi diumumkan, ternyata pemenangnya bukan Mir Hossein Mousavi, melainkan petahana, Ahmadinejad. Massa Mousavi marah.
Melalui media sosial, kemarahan disebarkan. Bersama dengan capres kalah lainnya, -Mehdi Karroubi-, Mousavi menggalang massa untuk melawan.
Pemimpin tertinggi Iran Ayatolah Khamenei meminta agar Mousavi menggugat melalui Shūra-ye negahbān-e qānūn-e āsāsī, semacam Mahkamah Konstitusi di sana. Namun Mousavi terus melawan di jalanan. Mousavi ini sesungguhnya bukanlah orang jauh Khamenei. Mereka adalah paman dan keponakan. Ibunya Mousavi ialah sepupunya Khamenei. Tapi itu tak berpengaruh.
Kemarahan massa semakin meluas, kantor-kantor polisi dan gudang senjata dibakar, kerusuhan dimana-mana. Dan tiba-tiba ada martir yang tewas. Namanya Needa Agha Sulthan. Saat ia tertembak, para demonstran segera memvideokannya. Sehingga terlambatlah penanganan medisnya. Nyawanya tak tertolong lagi.
Segera peristiwa itu menyebar via medsos dan menyebabkan eskalasi yang lebih luas. Para demonstran dari berbagai elemen keluar ke jalanan dengan simbol warna hijau. Mereka meneriakkan Green Revolution. Dalam gerakan ini, selain dari massa pendukung Mousavi, juga bergabung massa anti Republik Islam. Massa ini menggunakan simbol Macan dan Pedang yang sudah menjadi simbol monarki Iran sejak zaman Safawi. Setelah Revolusi Islam 1979, simbol ini diubah menjadi Bunga Tulip yang sekilas terlihat mirip nama Allah. Uniknya, Reza Pahlevi II -putra mahkota dinasti Pahlevi yang terusir-, turut serta melakukan propaganda di luar negeri. Jadi isunya bukan lagi sekedar ketidakpuasan atas kalahnya Mousavi, tapi juga melibatkan orang-orang yang hendak mengubah negara terutama dari pendukung monarki yang dikalahkan dalam Revolusi Islam 1979.
Ayatollah Khamenei menangis memohon massa agar berhenti dan melayangkan gugatan ke jalur hukum. Di khutbah Jumat ia mengadu pada Al Mahdi -yang menurut kepercayaan mereka sedang ghaib- mengakui kelemahannya. Hal mana yang kemudian disambut linangan air mata jamaah.
Medsos pun dibatasi agar eskalasi tak meluas.
Saya saat itu kesal dengan tindakan pemerintah Iran. Bagi saya, pembatasan medsos adalah tindakan tidak demokratis. Bukankah rakyat punya hak menyatakan pendapat?
Namun sekarang sejak permainan hoax begitu sangar di Indonesia, saya jadi berpikir ulang. Kita dihadapkan pada sebuah kondisi dimana kita berada pada lautan informasi yang tak jelas kebenarannya. Semua orang bisa berbicara, semua orang bisa mendistribusikan berita tanpa verifikasi. Mereka yang punya keahlian dan mereka yang bodoh sama-sama berpeluang mentrigger emosi massa melalui penyebaran kabar yang provokatif lalu viral secara masif.
Tindakan pemerintah saat ini yang membatasi akses sosial media masih dapat diterima, sambil kita terus berharap agar mereka yang tidak puas menggunakan saluran-saluran konstitusional dalam menyatakan ketidakpuasan mereka.
Mari taati hukum. Karena bagaimanapun, demokrasi kita sudah menyediakan kanal-kanal untuk menyelesaikan konflik-konflik itu.
Image Source : Image Source : http://edition.cnn.com/2011/US/01/10/iran.lawyer/index.html
0 komentar:
Posting Komentar