WHAT'S NEW?
Loading...
Gambar: Tanah retak di gurun (Sumber iStockphoto)
Dua hari lepas, Dubai tempat saya menetap, seperti kota sauna. Hampir sekujur kota diselimuti halimun putih, jarak pandang hanya sepersekian kilometer. Tapi ini bukan kabut yang dingin seperti di puncak bukit, ini kabut yang hangat, membuat kita segera berkeringat.

Dari aplikasi penunjuk suhu, menunjukkan “hanya” 38 derajat, tapi tingkat kelembaban sampai 100%. Artinya, setiap massa udara yang melingkupi kita juga mengandung uap air yang sama banyaknya. Ini seperti ketika Anda memasuki ruangan sauna yang hangat dan lembab. Baru 2-3 meter saja melangkah keluar dari ruangan, badan segera berpeluh dan terasa pengab. Ketek, selangkangan dan semua lipatan terasa basah.

Menjelang siang, suhu udara di Dubai juga menanjak, mencapai sekitar 45 derajat, tapi kelembaban menurun sampai 40% saja. Panas terik, tapi tak disertai uap yang menyesakkan.

Buat orang dari kampung tropis seperti saya, suhu dan kelembaban seperti ini membuat gak nyaman. Tapi untunglah waktu “berjemur” di luaran tak terlalu lama. Hanya saat mengantar anak2 ke sekolah dan jalan ke kantor, sekitar 15 menit, dan atau jalan keluar makan siang bersama teman-teman kantor, sekitar 10 menit. Selebihnya, nyari 20 jam lebih berada di dalam ruang berpendingin.

Setiap terpapar suhu yang panas, kadang pikiran saya selalu merenungi NERAKA.

Apakah neraka itu panas maksimal yang meletup2, seperti yang kita lihat saat gunung meletus, atau sesuatu yang lain. Saya sendiri berkeyakinan bahwa di alam selanjutnya nanti bukanlah tempat buat mengukur hal-hal materil seperti di dunia. Jadi tak akan ada panas atau dingin, seperti ukuran kita di dunia.

Di Neraka yang saya pikirkan itu, siksaan bersifat non-material, seperti perasaan sakit hati, cemburu, berduka teramat dalam, penyesalan, dan sebagainya. Siksaan seperti itu jauh lebih menyakitkan daripada sentuhan panas pada kulit yang akan hilang seiring waktu.

Panas di Dubai, seperti di kota-kota berkawankan gurun, tentu tak seberapa. Jutaan manusia sudah melewati masa yang panas sekalipun, hingga saat ini. Tapi siksaan terberat manusia itu sejatinya adalah yang menghunjam ke hati.

Tanyalah pada mereka yang pernah ditolak cintanya, konon lebih sakit daripada sakit gigi. Sampai level “teganya” bisa sampai 13x menurut Meggy Z.
Saya ini Muslim, seorang penganut agama Islam. Saya pribadi tidak merasa ada yang salah dengan kondisi itu. Meski bisa dibilang bukan seorang Muslim yang taat, tapi berbagai khazanah keislaman bukanlah hal yang asing bagi saya.

Dan sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan Islam Tradisional, bahasa Arab adalah bahasa yang sangat akrab di telinga, meski saya bukan seorang pengguna bahasa Arab aktif. Di masa kecil, guyonan-goyonan berbasis bahasa Arab sudah menjadi santapan sehari-hari.

Bapak saya suatu ketika setelah mengajari ngaji di waktu Maghrib mengajarkan sebuah pepatah bahasa Arab, "IRQI' WALAW TAGHOTSAN AW NUTSURO", yang tentunya, membuat kami serumah penasaran.
"Artinya apa, Pak?" tanya kakak saya.
"Ngerokoko siro senajan mung tegesan, utawa nyusuro.." (Merokoklah kamu walau hanya puntung, atau makan sirihlah..) 🤣🤣🤣

Kontan kami semua sekeluarga tebahak-bahak, dan selanjutnya bertambah pula kosa-guyon dari tempat ngaji di surau, dari teman-teman kakak di MTS dan Aliyah, teman-teman aktivis di Masjid, dsb.

Jadi "mempermainkan bahasa Arab", bahkan (saking kurang-ajarnya) bbrp dalil yang sudah umum dipakai dalam khazanah keagamaan itu bukan hal yang aneh. Juga memplesetkan nama-nama artis, penyanyi, dan para pesohor lain ke dalam bahasa Arab juga bukan hal yang sulit bagi orang-orang dengan latar belakang seperti saya, apalagi yang lebih nyantri lagi seperti Almukarrom Aa Jojot Jody Ananda :-D

Sebutlah kami biasa menyebut nama-nama Syaikh Qirqu Hammit Al-Mithaliqqiyah, Syaikh Junn Fiturissy Al-Ghitary, dsb.
Maka ketika kemudian muncul sesesutat yang dengan konyolnya mereka-reka nama-nama pulau menjadi kearab-araban, ya tentu saja saya cuma bisa ngakak guling-guling.
Guyonan anak-anak kampung dijadiin bahan diskusi seriusan 🤣

Artinya apa? Sebenarnya tidak perlu kagetan dengan fakta bahwa Bahasa Arab sudah menjadi bagian dari tradisi bangsa kita. Sebutlah bahasa Arab itu bahasa impor, tapi karena sudah ratusan tahun, ya sudah serasa milik sendiri. Silahkan buang kosakata-kosakata yang berasalah dari bahasa Arab, maka kita akan membaca Pancasila, UUD 45, dan bahkan KBBI yang lebih banyak berisi kata-kata yang tidak kita kenal sekarang.

Bahasa Arab sebagai warisan Islam. adalah bagian dari kosa kata nasional kita, bahasa Melayu yang sudah diperkaya dengan kata-kata dari bahasa warisan Hindu Buddha (Sanskerta), Kristen (Belanda, Inggris, Portugal, bahkan Perancis), Kong Hu Chu (Mandarin) ditambah lagi bahasa-bahasa daerah asli kepulauan kita selain Melayu, dari Aceh, Batak, Minang, Lampung, Banjar, Makassar, Sasak, Bone, Papua, dsb.
Meski Arab tidak identik dengan Islam, dan Islam tidak identik dengan Arab. Bahkan bisa jadi bahasa Arab pra Islam juga sudah saling mempengaruhi dengan bahasa lokal kita.
Sebutlah kata "kaffur" dalam bahasa Arab yang berasal dari istilah Kapur Barus, dsb. Namun tentu tidak bisa diingkari bahwa meluasnya penggunaan bahasa Arab di Indonesia adalah efek dari penyebaran agama Islam.

Nah, kembali lagi, sebagai Islam Tradisionalis, segala hal yang berbau Arab itu bukan hal yang asing. Tapi juga tidak semuanya sakral, rigid, bahkan yang profan dan konyol-konyol pun juga diakrabi.
Maka ketika ada orang-orang keturunan Arab yang saleh dan santun, kami hormat. Kalau ada yang kasar dan "cluthak", meski merasa nggak aneh juga, ya santai aja, tinggal gak perlu dihormat-hormati :-P

Antipati yang muncul terhadap hal-hal berbau Arab di kalangan (sebutlah sebagian kalangan) sekuler dan non Muslim, adalah hal yang muncul sebagai respons atas pensakralan yang berlebih-lebihan terhadap kearaban. Orang bertabiat kasar, hanya karena keturunan Arab terpandang, kok dihormati. Bahkan dibela-bela dengan sengit. Maka muncullah anti tesisnya, pelecehan yang berlebih-lebihan juga terhadap hal yang berbau Arab.

Maka saya sangat gembira ketika ada sekelompok keturunan Arab muda yang berwawasan luas, dengan gencar mengkampanyekan "degradasi" atas keturunan-keturunan Arab yang bertingkah kurang baik bahkan memalukan.
Kepada Arab-arab muda progressif ini, yang sangat egalitarian, bahkan sangat Indonesia, kita memberikan rasa hormat yang sepatutnya mereka terima 🙏

*KiAdjarNangkubkeunParahu*



Majalah Tempo edisi 15 Juni 2019 terbit dengan sampul muka berlatar perempuan-perempuan berniqab di tenda penampungan tahanan ISIS di Suriah. Meski laporan investigative langsung dari kantong-kantong pengungsian di Suriah ini ciamik dan enak dibaca – tentu dengan perasaan getir bercampur marah, namun sejatinya saya lebih tertarik dengan reportase di rubrik “Iqra” yang mengambil bahan dari buku karya terbaru George Quinn “Bandit Saints of Java” – kisah makam-makan “wali pinggiran” atau “tokoh fenomenal” masa lalu yang ramai dikunjungi penziarah.

Yang menarik justru bagaimana persepsi masyarakat Jawa – juga hampir seluruh kebudayaan nusantara – yang membangun impresi dan gambaran tentang sosok-sosok yang mencuat namanya dalam bentuk paling hiperbola sekalipun ketika wujudnya sudah berbentuk kuburan. Dengan mitos, legenda, atau cerita-cerita berbumbu, makam-makam yang tersebar banyak hingga di hutan dan perbukitan dipercaya mampu mendatangkan nasib baik atau bisa mencukupkan hajat yang mendatanginya.

Padahal, beberapa di-antaranya hanyalah seorang berandalan (bandit) di masa hidupnya, seperti Ki Balak dan Ki Boncolono namun kemudian menyebarkan budi baik di masyarakat. Hasil jarahan atau rampokannya – seperti kisah Si Pitung atau Robin Hood – disebarkannya ke kaum miskin. 

Jadilah, sepeninggal mereka, kuburannya menjadi semacam tempat keramat yang disinggahi penziarah. Menariknya, kuncen makam Ki Balak menganjurkan penziarah untuk memberi sesajen berupa candu mentah kalau hendak hajatnya dikabulkan. Konon karena Ki Balak semasa hidupnya ratusan tahun lalu adalah seorang penikmat candu.

Ada juga kisah lain, tentang Mbah Jugo, yang sejatinya menurut salah satu versi cerita, hanyalah seorang tabib Cina yang rajin menyembuhkan penduduk di Gunung Kawi – yang kini terkenal sebagai gunung pesugihan. Makamnya di desa Jugo menjadi tempat warga keturunan Tionghoa memohon rezeki dan dilancarkan usahanya. 

Penziarah berdatangan tidak hanya dari nusantara, tapi juga dari Malaysia, Singapura, bahkan dari Taiwan, Hongkon dan Cina. Di sekitar makamnya berdiri banyak juga kelenteng Cina, berdampingan dengan masjid dan pesantren.

Anehnya, sosok Mbah Jugo juga muncul dalam versi Islamnya. Sosok mbah Jugo di-islam-kan sedemikian rupa sehingga ia kemudian diceritakan sebenarnya adalah seorang alim bernama Kiai Zakaria. Kiai ini konon adalah perwira dari pasukan Diponegoro yang menyingkir ke Gunung Kawi. Oleh penduduk sekitarnya, dua versi berbeda dalam satu sosok makam ini tidak begitu diributkan. Buat mereka, impresi para penziarah adalah hak masing-masing.

Cerita lainnya tentang makam yang dikeramatkan berasal dari Sumenep. Ada satu makam yang dipercaya menjadi tempat jasad Pangeran Jimat atau Cakranegara II beristirahat dan menjadi tempat yang ramai dikunjungi. Namun arsip kolonial menuliskan bahwa pangeran ini punya kecenderungan seksual yang berbeda dari umumnya, dia dianggap menyukai sesama jenis. 

Pangeran yang tak pernah memiliki istri dan keturunan ini diceritakan suka memelihara prajurit atau pangeran yang tampan di istananya. Para penziarah bukan tak tahu mitos itu, mereka tahu ada versi cerita tentang Pangeran Jimat yang homoseksual. Tapi mereka cukup memaklumi, bagi penziarah itu, sosok wali memang terkadang punya perilaku yang tak biasanya.


Menariknya, di tengah semakin maraknya Islam konservatif yang kadang bernuansa politis ke nusantara, jumlah penziarah ke makam-makam suci ini konon semakin melonjak jumlahnya. Artinya, penganut Islam tradisional tidak terpengaruh dengan perkembangan “dakwah” islam a la kaum kota atau – entah bagaimana mengklasifikasikannya. Di tahun 1988, makam-makam suci ini diziarahi hanya sekitar 500ribu orang. Namun di tahun 2005, jumlah ini meningkat menjadi tiga setengah juga. 

Ada masa nyaris seratus tahun bahkan lebih, Islam digambarkan oleh Eropa sebagai agama orang Turki dengan ajaran yang menyimpang.
Alexander Ross (wafat 1654), seorang pendeta yang juga berprofesi sebagai penulis dan penerjemah berkebangsaan Skotlandia, menerbitkan sebuah terjemahan AlQuran yang diberi judul “The Alcoran of Mahomet” (circa 1649).
Ross yang tak punya keterampilan berbahasa Arab secuil pun, nekad merampungkan utuh Alquran berbahasa Inggris yang rupanya dia sadur dari buku terjemahan berbahasa Perancis. Para kritikus di masa belakangan menyebutkan bahwa hasil terjemahan Ross teramat buruk, bahkan dianggap telah menyalahartikan bukan saja makna ayat-ayat suci dalam Alquran, tetapi juga rancu memahami bahasa Perancis yang diterjemahkannya.
Meskipun demikian, hingga tahun 1734, kitab terjemahan Ross yang buruk ini dijadikan referensi utama bagi para pembelajar Islam dan Alquran di Inggris. Maka awan kegelapan menaungi para intelektual selama itu. Kitab terjemahan Ross ini bahkan dicetak ulang berkali-kali dan disebarkan hingga ke Amerika Serikat sampai tahun 1948 ketika buku itu berhenti diterbitkan lagi.
Dari Ross inilah, kemungkinan para orientalis mendulang ilmu tentang Islam yang kemudian ternyata sangat bias dan tak tepat duga. Islam digambarkan sebagai sekte sesat yang menyimpang dari ajaran Kristen, demikian anggapan umumnya.
Hingga kemudian muncullah George Sale, anak seorang pedagang yang menjadi sarjana dalam bahasa Arab, melakukan koreksi atas kitab terjemahan Ross dengan menerbitkan buku terjemahan berjudul “The Koran” (circa 1734). Meski tak juga lepas dari kesalahan mendasar, misalnya menterjemahkan ayat “Hai Umat Manusia” dengan menyempitkan bahasanya menjadi hanya “Hai Penduduk Kota Mekah”, atau kata ganti “Muslim” diturunkan menjadi “Penduduk Arab atau Mekkah” saja. Namun, setidaknya kekeliruan mendasar dari terjemahan Ross bisa diperbaiki meskipun Sale sendiri memasukkan unsur-unsur subyektif dalam terjemahannya.
Arthur Arberry kemudian melakukan penyempurnaan terjemahan AlQuran secara lebih baik di tahun 1955, dengan bukunya “The Koran Interpreted”. Dengan pemahamannya yang cukup lengkap tentang bahasa dan kebudayaan Arab, juga Islam sebagai ajaran teologi, dan pergaulannya yang intens dengan penduduk Mesir saat tinggal di sana, Arberry cukup radikal melakukan koreksi atas kesalahan penerjemahan Alquran yang dilakukan oleh Ross dan Sale sebelumnya.
Kemungkinan besar bahwa penerjemahan, atau penafsiran keliru Alquran dan juga ajaran Islam serta sejarah Nabi Muhammad ke dalam buku-buku literatur berbahasa Eropa sangat dipengaruhi oleh isu politik panas saat itu antara Kesultanan Ottoman dengan Kerajaan Inggris Raya atau Eropa lainnya.
Namun untunglah bahwa peradaban modern, dengan jargon paling khasnya “metoda ilmiah” selalu melahirkan koreksi-koreksi yang berasal dari klarifikasi atau tabayyun terhadap sumber primer-nya. Hingga kini, para pembelajar kemudian masuk lebih dalam lagi, berusaha memahami teks suci agama-agama, termasuk Islam, dari perspektif penganutnya sendiri. “Islam berbicara dengan perspektif Islam, bukan dari kacamata yang lain”.
Kitab suci dan teks-teks transenden memang kerap diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Namun patut diingat bahwa terjemahan tidaklah mampu membawa makna sejatinya sesempurna bahasa aslinya. Jangan latah menganggap terjemahan adalah teks suci itu sendiri.
Ada banyak kemungkinan distorsi kalau sudah dialihbahasakan lepas dari bahasa aslinya. Pesan pendek saja kalau disampaikan sambung menyambung dari satu orang ke orang lain bisa mengalami reduksi kata, apalagi kalau disadur menjadi bahasa yang asing. Seperti kisah penerjemahan Alquran di Eropa di atas.
Nah, dalam konteks kekinian mengelola infomasi, kita sekarang yang berada di abad modern, apakah masih enggan mencari tahu informasi langsung ke sumbernya? Dan hanya mengandalkan copy paste atau forward dari pribadi-pribadi yang setiap ditanya asal berita hanya santai berujar “Saya hanya forward aja, silahkan telusuri sendiri kebenarannya”?
Scan copy lengkap Buku ini bisa dilihat di link ini.
Kalau di Group WA atau FB yang anda ikuti ada anggota group yang gemar menyebarkan postingan atau artikel bernada kebencian atau memaki kelompok tertentu, maka kemungkinan ‘rekan’ Anda itu mengidap gejala Dunning-Kruger.
Gejala psikologis ini biasanya terpapar pada mereka yang menganggap dirinya lebih hebat dari semua orang, sehingga perilaku “halu” ini membuatnya mudah memaki atau meremehkan orang lain. Berbekal bacaan online, atau kadang hanya berdasar keyakinan pribadi, ia mendaku diri menjadi jaksa sekaligus hakim buat kelompok yang dimusuhinya.
Hal yang paling mengkhawatirkan dari mereka ini, adalah keengganannya menerima kenyataan bahwa orang lain bisa saja mengajukan opini berbeda, atau berseberangan.
Keyakinan seperti ini biasanya kadang dikait-kaitkan dengan keyakinan agamanya. Lumrah didapati bahwa pemeluk agama tertentu selalu merasa agamanya satu-satunya yang benar, yang lain salah dan keliru.
Dalam ilmu psikologi, efek Dunning-Kruger ini dianggap sebagai gejala yang parah karena pengidapnya tidak memiliki kemampuan untuk mengukur diri sendiri, sehingga selalu terjebak ke dalam kondisi halusinasi yang merasa diri lebih berilmu daripada yang lain.
Penemu gejala psikologis ini, David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University menyatakan bahwa, “kesalahan dalam menilai orang lain sejatinya berawal dari kesalahan menilai diri sendiri”. Artinya ilmu TAHU DIRI-nya kurang. Atas temuannya, Dunning dan Kruger berhasil mendapatkan hadiah Nobel di tahun 2000 untuk bidang Psikologi.
Kata Imam Ali kw, sejalan dengan efek ini, bahwa “Seseorang cenderung memusuhi sesuatu yang tidak dipahaminya”. Jadi #sabarki saja.
==
Do not be troubled about whether your heart is good or bad, or your sin light or grievous. Only determine in your heart that you will be born into the Pure Land, and so repeat the “Namu Amida Butsu” with your lips, and let the conviction accompany the sound of your voice.…- Honen  – Japanese Buddhism (died 1212)


Tehran 2009, sebelum ada pengumuman resmi KPU, capres Mir Hossein Mousavi mengklaim kemenangan. Para pendukungnya sontak kegirangan, mereka merayakannya dengan memenuhi jalanan.

Selang beberapa waktu kemudian, hasil resmi diumumkan, ternyata pemenangnya bukan Mir Hossein Mousavi, melainkan petahana, Ahmadinejad. Massa Mousavi marah.

Melalui media sosial, kemarahan disebarkan. Bersama dengan capres kalah lainnya, -Mehdi Karroubi-, Mousavi menggalang massa untuk melawan.

Pemimpin tertinggi Iran Ayatolah Khamenei meminta agar Mousavi menggugat melalui Shūra-ye negahbān-e qānūn-e āsāsī, semacam Mahkamah Konstitusi di sana. Namun Mousavi terus melawan di jalanan. Mousavi ini sesungguhnya bukanlah orang jauh Khamenei. Mereka adalah paman dan keponakan. Ibunya Mousavi ialah sepupunya Khamenei. Tapi itu tak berpengaruh.

Kemarahan massa semakin meluas, kantor-kantor polisi dan gudang senjata dibakar, kerusuhan dimana-mana. Dan tiba-tiba ada martir yang tewas. Namanya Needa Agha Sulthan. Saat ia tertembak, para demonstran segera memvideokannya. Sehingga terlambatlah penanganan medisnya. Nyawanya tak tertolong lagi.

Segera peristiwa itu menyebar via medsos dan menyebabkan eskalasi yang lebih luas. Para demonstran dari berbagai elemen keluar ke jalanan dengan simbol warna hijau. Mereka meneriakkan Green Revolution. Dalam gerakan ini, selain dari massa pendukung Mousavi, juga bergabung massa anti Republik Islam. Massa ini menggunakan simbol Macan dan Pedang yang sudah menjadi simbol monarki Iran sejak zaman Safawi. Setelah Revolusi Islam 1979, simbol ini diubah menjadi Bunga Tulip yang sekilas terlihat mirip nama Allah. Uniknya, Reza Pahlevi II -putra mahkota dinasti Pahlevi yang terusir-, turut serta melakukan propaganda di luar negeri. Jadi isunya bukan lagi sekedar ketidakpuasan atas kalahnya Mousavi, tapi juga melibatkan orang-orang yang hendak mengubah negara terutama dari pendukung monarki yang dikalahkan dalam Revolusi Islam 1979.

Ayatollah Khamenei menangis memohon massa agar berhenti dan melayangkan gugatan ke jalur hukum. Di khutbah Jumat ia mengadu pada Al Mahdi -yang menurut kepercayaan mereka sedang ghaib- mengakui kelemahannya. Hal mana yang kemudian disambut linangan air mata jamaah.

Medsos pun dibatasi agar eskalasi tak meluas.

Saya saat itu kesal dengan tindakan pemerintah Iran. Bagi saya, pembatasan medsos adalah tindakan tidak demokratis. Bukankah rakyat punya hak menyatakan pendapat?

Namun sekarang sejak permainan hoax begitu sangar di Indonesia, saya jadi berpikir ulang. Kita dihadapkan pada sebuah kondisi dimana kita berada pada lautan informasi yang tak jelas kebenarannya. Semua orang bisa berbicara, semua orang bisa mendistribusikan berita tanpa verifikasi. Mereka yang punya keahlian dan mereka yang bodoh sama-sama berpeluang mentrigger emosi massa melalui penyebaran kabar yang provokatif lalu viral secara masif.

Tindakan pemerintah saat ini yang membatasi akses sosial media masih dapat diterima, sambil kita terus berharap agar mereka yang tidak puas menggunakan saluran-saluran konstitusional dalam menyatakan ketidakpuasan mereka.

Mari taati hukum. Karena bagaimanapun, demokrasi kita sudah menyediakan kanal-kanal untuk menyelesaikan konflik-konflik itu.

Ada kisah yang terjadi di masa lalu. Seorang kafir yang bertobat mendekati seorang pemuka agama. Dalam penyesalan dirinya mengingat dosa masa lalu, ia mengharap lirih “ajari aku tentang kitab sucimu”. Sang agamawan tersenyum ramah, “Mudah saja, bro. Apa yang kau benci, jangan lakukan ke orang lain. Inilah inti kitab suci, selebihnya hanya tafsiran-tafsiran saja. Laksanakan itu dan dirimu sudah memahami kitab suci seluruhnya”.
Semua tahu bahwa seorang agamawan tentunya bisa mengeja satu persatu semua dalil kebenaran yang bisa membela agama yang dia yakini. Semuanya ada dalam kitab suci, dan buat kita ketersediaan lembaran-lembaran kitab suci sungguh berlimpah. Tapi sang agamawan dalam kisah diatas memilih untuk tidak membacakan lembaran-lembaran kitab suci itu begitu saja. Ia memilih untuk menyederhanakannya, dengan bahasa yang teramat jelas. Ia membaca ulang keseluruhan kitab suci, tapi menggantinya dengan kalimat sederhana itu “apa yang kau benci, jangan lakukan ke sesamamu”.
Kisah diatas menjadi sumber inspirasi Donniel Hartman, seorang Rabbi yang hidup di Jerusalem, ketika ia menulis buku yang cukup unik “Putting God Second; How to Save Religion from Himself” [Menomorduakan Tuhan, Bagaimana Menyelamatkan Agama dari Dirinya Sendiri]. Donniel Hartman, rabbi Yahudi yang juga ikut mengkampanyekan solusi dua-negara di Israel-Palestina, cukup gusar dengan kenyataan bahwa agama-agama monoteis, yang asalnya adalah sumber ajaran moral, alih-alih menjadi salah satu musabab kehancuran dunia modern saat ini. Atau paling tidak, dijadikan semacam pembenar untuk saling membunuh.
Kita boleh setuju, atau menolak kegalauan Hartman. Tapi mengakui bahwa banyak persoalan muncul karena klaim keagamaan pihak tertentu, kemudian dijadikan aksi sepihak yang kadang merusak tatanan yang ada adalah keniscayaan. Kata Ibnu Rusyd, filosof Aristotelian yang terkenal itu, “Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala sesuatu yg batil dengan kemasan agama”.
Tentu saja agama yang dimaksud bukanlah agama yang diperjuangkan para nabi dan mereka yang mendudukkan ajaran moral dan etis sebagai landasan hidup. Agama yang dibincangkan diatas adalah agama yang sudah tercemar oleh kekuasaan, apapun itu.